Senin, 17 Desember 2012

Teruntuk Sinterklas Di mana pun Kau Berada..

Teruntuk Sinterklas,
Bolehkah aku memohon kepadamu?
Bolehkah aku berharap padamu selain pada Tuhan?
Bolehkah aku sejenak percaya pada keajaibanmu?

Teruntuk Sinterklas,
Sulit membayangkan dimana dirimu berada
Yang ku tahu kau sedang sibuk menyiapkan kado natal
Lihatlah aku,
meyakinkan diriku untuk percaya padamu,
berharap padamu

Teruntuk Sinterklas,
Ku tulis permohonan yang bahkan diriku tak ingat saking banyaknya
Aku hanya ingat satu,
aku ingin bahagia

Teruntuk Sinterklas,
Pada secarik kertas ku tulis permohonanku,
setiap hari pada bulan Desember
Kulipat dibawah bantal,
tepat di sisi kiri

Teruntuk Sinterklas,
Pada malam natal, saat aku merayakannya di Gereja,
ambillah kertas lusuh itu
Bacalah dengan seksama
Jangan sampai ada yang terlewat

Teruntuk Sinterklas,
Kau boleh menertawakan semuanya
Mungkin permohonanku tidak masuk akal
Tak apa, aku memang bukan manusia sempurna
Aku hanya manusia yang berharap banyak

Teruntuk Sinterklas,
aku percaya padamu,
seperti aku percaya akan Peri Gigi,
yang 12 tahun lalu mengambil gigi susuku
Diam-diam saat ku terlelap

Teruntuk Sinterklas,
pastikan kau mengabulkan permohonanku yang tak jelas bagimu
Maaf jika aku merahasiakannya jika semua ini terkabul
Agar kelak anak-anaku tidak meniru tindakan bodoh ini.


Dari Gadis penunggu Sinterklas

Minggu, 16 Desember 2012

Sebuah Cerpen Karya Dwitasari, "SIAPA KAMU?"

“Pada akhirnya, hanya TUHAN, tempat terakhir untuk PULANG”


Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” jawabku melemah, aku masih terbaring di tempat tidur menahan rasa sakitku.
“Kamu belum menghasilkan apa-apa dua bulan terakhir ini!” Mulutnya merancau, Mami Desi memasang tampang murka.
“Aku sedang sakit, Mi. Tidak mungkin dengan kondisi seperti ini aku melayani 6 pria dalam sehari.”
“Aku tak peduli! Sakitmu hanya membuang-buang biaya!”
“Mami, kautega sekali berbicara seperti itu. Apa salahku, Mi? Aku juga tak meminta rasa sakit ini hinggap ditubuhku.”
“Itu salahmu! Tuhan murka padamu! Makanya kalau melacur jangan lupa pakai pengaman! Pelacur bodoh! Keluar dari sini! Aku muak melihatmu! Bisa-bisa pelacur yang lain ketularan penyakitmu!” dengan nada tinggi Mami Desi membentakku.
Aku yang terbaring lemah dipaksanya untuk bangun. Terbesit mimik wajah jijik saat dia menarikku keluar kamar. Aku diseret hingga pintu depan kost, sementara pelacur yang lain hanya bisa tertawa, padahal dulu mereka mengaku temanku. Ternyata tidak semua teman akan berlaku seperti teman.
Kini, aku tak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Aku hanya punya baju yang menempel ditubuhku, penyakit AIDS yang menggerogoti tubuhku, dan Tuhan. Tuhan? Apakah Tuhan ada? Bukankah Tuhan hanya sekadar konsep?

***

Langkahku terseok-seok, terik metahari membakar tubuhku, panasnya menusuk hingga tulang. Aku masih tetap berjalan, aku bingung pada arah tujuan. Terbesit pikiran untuk melangkahkan kakiku ke rumah sakit, aku butuh perawatan dan pertolongan, walau kutahu penyakit ini takkan mungkin sembuh. Lagipula, sebentar lagi aku akan mati, karena salahku sendiri, karena dosaku sendiri.
Langkahku terhenti di depan rumah sakit yang cukup megah itu. Ada senyum simpul yang menghiasi bibirku, kakiku mulai berdarah karena bersentuhan langsung dengan aspal jalanan, aku memang tak menggunakan alas kaki. Di dalam rumah sakit, aku disambut dengan hawa sejuk yang sedikit menyejukkan badanku.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” sapa seseorang di meja receptionist, tatapan jijik tersirat dari matanya yang bulat dan indah.
“Aku butuh pengobatan. Bisa?”
“Anda sakit apa?”
“AIDS.”
Wanita dibalik meja itu menatapku dengan heran, “Pakai asuransi?”
“Aku tidak punya uang sama sekali, hanya baju ini yang kupunya, bahkan aku tak menggunakan alas kaki.”
Dia hanya membalas jawaban luguku dengan senyum sinis, dia mengangkat tangannya seperti memberi isyarat. Tiba-tiba saja, seorang berbadan kekar menarik kasar tubuhku. Aku diseretnya keluar dari rumah sakit. Bercak-bercak darah menetes di lantai rumah sakit yang tadi kudatangi. Dengan tatapan kecewa, kutinggalkan rumah sakit itu. Apakah orang tak berduit tak diizinkan untuk sehat?

***

Aku semakin hilang arah, aku kebingungan harus melangkah kemana lagi. Dahagaku semakin terasa munusuk tenggorokan. Tiba-tiba, terpikir olehku untuk pengakuan dosa di gereja. Terakhir kali aku kesana saat aku masih berumur 16 tahun, saat aku sangat mengerti konsep Tuhan, dan saat aku merasa Tuhan benar-benar memelukku dengan erat. Laju langkahku semakin pelan, sebenarnya aku sangat lelah, sementara darah segar masih mengucur dari kakiku yang penuh luka. Penderita AIDS memang sulit mengalami pembekuan darah saat terluka. Kini ada rasa sejuk yang menyelinap dalam dadaku. Melihat rumah ibadah yang sungguh megah itu. Kuketuk pintu gereja dengan agak keras, lalu seseorang membukakan pintu besar itu.
“Koster, maaf saya sedang sakit, saya ingin mengaku dosa. Saya ingin bertemu Pastor.”
Pria itu hanya menatapku, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dia langsung mundur dua langkah, “Pastor sedang tidak ada! Ini bukan hari dan jam untuk pengakuan dosa.”
“Aku ingin mengaku dosa, Koster.”
“Pastor sedang tidak ada!”
“Di mana rumah pastor berada? Sebentar lagi aku pasti mati, izinkan aku mengenal Tuhan walau hanya secuil, setidaknya aku bisa mengelak saat ditanya di penghakiman akhirat nanti.”
“Kamu gila ya? Kamu sakit apa?”
“AIDS dan hampir mati.”
“Santo Petrus!” ucap koster itu sambil menutup mulutnya yang menganga.
“Ada apa?”
“Kamu telah berbuat dosa.”
“Bukan hanya berbuat, tapi melulu berdosa.”
“Kamu terbujuk setan.”
“Tidak, aku hanya terjepit kemiskinan dan aset terpenting yang kumiliki hanya tubuhku.”
“Kaugila! Kautak butuh pastor, kauhanya butuh dokter jiwa!” ucap koster dengan nada tinggi bersama dengan suara pintu yang ditutup perlahan. Aku terdiam.

***

Aku bosan berjalan terus menerus, sementara aku butuh air untuk melepas dahagaku, dan aku butuh makanan untuk menghilangkan rasa laparku. Aku masih terus berjalan dengan luka yang membuat kakiku terasa begitu perih.
Ada semilir angin senja yang memainkan rambutku. Kulihat ada sungai yang mengalir dengan tenang di samping jalan yang mulai terlihat sepi, semua orang pasti ingin segera sampai di rumah, karena suara adzan sebentar lagi akan dikumandangkan. Aku berjalan kesana dengan langkah gontai, dengan sisa tenagaku.
Aku duduk terdiam. Sekilas muncul bayangan ibuku yang dulu begitu mencintaiku. Lalu, tergambar bayangan ayahku yang sangat menyayangiku. Diikuti dengan bayangan mantan kekasihku, yang pernah menjadi sebab aku tersenyum, dulu. Lalu ada sekolahku, ada gerejaku, ada hari Natal. Dan... aku masih saja sibuk membayangkan masa lalu, tapi tiba-tiba ada seorang pria berjubah putih, Dia berjalan di permukaan air telaga. Aku tersentak. Pria itu menghampiriku.
Dia hanya memasang senyum simpul dibibirnya. Seketika perasaanku menjadi tenang, pikiranku kembali sejuk, aku seperti kembali ke masa lalu, masa dimana kebahagiaan masih begitu nyata dimataku.
“Akhirnya, kita bertemu juga ya?” sapa manis Pria itu, mengawali pembicaraan.
“Siapa Kamu?”
“KaumengenalKu sejak dulu, Aku mengenalmu sejak dulu.” jawabNya singkat tapi begitu rumit untuk kumengerti.
“Lihatlah, Kaumelucu!”
“Aku Putera Nazaret, lahir di kandang domba, dari rahim Maria.”
“Aku tahu namaMu! Jadi, kita bertemu disini ya? Untuk apa?”
“Aku ingin menjemputmu.” jawabNya singkat, Dia mengulurkan tanganNya, “Ikutlah."
Aku mengulurkan tangan. Sementara angin meniupkan jubahNya yang tipis. Kulihat ada bekas luka mahkota duri dikepalaNya, ada dua bekas luka di tangan kiri dan kananNya, dan ada juga dua bekas luka di kakiNya. Aku mengenal baik rambut dan jenggotNya, wajahNya selalu terpampang dengan jelas, sering kulihat sewaktu SMA dulu, saat aku ke gereja, untuk pengakuan dosa.
Yesus?

Terinspirasi dari puisi W.S. Rendra: Nyanyian Angsa

 Selamat hari AIDS sedunia. :) Jauhi virusnya, bukan orangnya.